Tukang Permak Jalanan di Jatinegara



Penglihatannya sudah tidak terlalu baik. Dengan bantuan kacamata, ia dengan cermat mengukur celana yang sedang dipermak. Sekitar setengah jam, pekerjaan itu sudah selesai. Seorang pelanggan memberikan uang Rp10.000 sebagai upah.

Sudah sekitar 24 tahun Masrey (60), mencari nafkah di trotoar Jalan Bekasi Barat, Jatinegara, Jakarta Timur. Bersama puluhan penjahit lain, setiap hari ia melayani masyarakat yang ingin mengecilkan, memotong atau membesarkan baju, celana, atau memermak gorden.

"Keadaannya tidak jauh berbeda dulu sama sekarang. Yang beda cuma tarifnya saja," katanya kepada WartaKota.

Merantau dari Sumatera Barat bersama Istri sekitar 1990, ia sempat kebingungan memilih pekerjaan. Beruntung di Jatinegra ia memiliki teman dari daerah asalnya yang berprofesi sebagai penjahit. Sebenarnya saat itu Masrey sudah memiliki kemampuan menjahit. Tetapi ia merasa tak enak, jika saat itu ia tiba-tiba membuka lapak jahit dan permak sendiri.

"Sebagai pendatang baru, saat itu saya sungkan langsung buka jahit sendiri. Apalagi modal juga belum ada. Seperti teman lain, saya memulainya dengan menjadi pekerja, ikut menjahit bersama teman saya yang lebih dulu di sini," katanya.

Mayoritas tukang permak di kawasan itu dikatakan Masrey memang memulai karier dengan membantu penjahit yang sudah ada sebelumnya. Tapi beberapa tahun kemudian, mereka membuka lapak jahit sendiri dengan modal yang sudah mereka kumpulkan menjadi seorang buruh permak.

Masrey ingat benar, tarif permak saat itu sangat murah. Biaya yang dikenakan untuk permak celana atau baju antara Rp1000-Rp1500. Setiap tahun, tarif semakin naik hingga sekarang mereka menetapkan rata-rata Rp10.000 untuk satu memperbaiki baju, celana, gorden atau tenda-tenda warung.

Dalam sehari, pendapatan Masrey dan tukang permak lainnya tidak menentu. "Namanya juga jualan jasa seperti ini, kadang ramai, kadang sepi. Kadang cuma tiga, lima atau kalau pas lagi ramai ya banyak. Tapi alhamdulillah sejauh ini cukup untuk menafkahi keluarga dan membayar kontrakan," kata ayah tiga anak ini.

Bekerja sebagai tukang permak, kata Masrey, lebih baik ketimbang bekerja dengan orang. "Kalau begini, meskipun jadi tukang jahit jalanan, tapi tidak tergantung sama orang. Kalau sakit, istirahat, tidak ada yang melarang. Beda kalau kerja sama orang," katanya.

Anjas Asmara (39), penjahit jalanan lainnya, juga sependapat. Memulai usaha sebagai tukang permak di kawasan itu sejak 1989, hingga saat ini ia bersyukur bisa mencukupi kebutuhan keluarganya, membayar uang kontrakan dan bisa menyisihkan uang untuk menabung setiap bulannya.

"Apapun jenis pekerjannya, asal mau tahan banting, sabar, bersyukur, pasti akan menghasilkan. Sama halnya kami, meskipun kadang sepi pelanggan, tapi kami percaya ada hari lain dimana akan banyak pelanggan. Rezeki itu berputar, sudah ada yang ngatur. Kita jalani saja dengan ikhlas," katanya.

Peluang



Pada era 1980an, Jakarta sebagai pusat pemerintah sekaligus pusat ekonomi Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam hal pembangunan. Hal tersebut memancing meningkatnya arus urbanisasi. Banyak orang datang dari berbagai daerah dan bekerja di sektor informal perkotaan.

Kawasan sekitar Stasiun Jatinegara sebagai salah satu pusat keramaian, dimanfaatkan oleh perantau asal Bukit Tinggi, Sumatera Barat bernama Syafrizal untuk membuka jasa permak jalanan. Ia melihat potensi besar, karena di sekitar stasiun menjadi pusat aktivitas masyarakat, baik para pekerja formal maupun informal. Terlebih saat itu usaha jahit atau permak belum begitu banyak.

"Sekitar tahun 1982 abang saya buka sendirian di sini. Itu awal ada tukang permak di sini," kisah Anjas Asmara, adik Syafrizal.

Banyaknya kaum urban yang datang melalui jalur kereta api dari berbagai daerah, membuat sebagian dari mereka tergiur menjadi tukang permak jalanan. Dikisahkan Anjas, pada era 1985 Syafrizal memanfaatkan peluang dengan mempekerjakan beberapa orang untuk menjadi tukang permak jalanan.

"Ibaratnya abang saya nyewain mesin jahit ke orang-orang itu. Tempatnya pun di sekitar sini. Nanti pada setoran ke abang saya," jelas Anjas.

Pada 1990, para pegawai permak kata Anjas sudah memiliki usaha sendiri. Jumlahnya saat itu sudah menjadi 15 orang.

Beberapa tahun kemudian, jumlahnya pun semakin banyak dan tersebar. Tukang permak berasal dari berbagai daerah seperti Padang, Cirebon, Tasikmalaya, Tegal, Bogor, Indramayu dan beberapa daerah lain.

Para pekerja informal itu memulai bisnis dengan modal kecil, dengan membeli mesin jahit bekas ke tukang loak. Beberapa merek mesin jahit yang paling banyak digunakan, Butterfly dan Standard.

"Karena modal yang pas-pasan, mereka pada beli alat jahit bekas atau rusak lalu diperbaiki. Bagi kami nggak masalah pakai bekas, yang penting merknya bagus dan memang berkualitas," kata Anjas.

Setidaknya, saat itu ada tiga lokasi yang dijadikan tempat berdagang. Pertama, di trotoar sekitar area luar stasiun KA Jatinegara, di bawah fly over dan sebagian membuka usaha di taman depan Gedung Bank BHS Bank. Hingga saat ini, kata Anjas, setidaknya ada 50 tukang jahit yang bertahan, baik yang ada di trotoar maupun kolong jembatan.

Murah dan cepat

Semakin banyak orang yang membuka jasa permak di kawasan itu dibarengi dengan peningkatan jumlah pelanggan. Sepengamatan Warta Kota, para tukang permak dan penjahit jalanan menjejer mesin jahit mereka di dekat perempatan Jatinegara dan di bawah kolong jembatan layang.

Saat ini, semakin banyak masyarakat yang datang ke sana untuk memperbaiki baju, celana, tas, gorden atau tenda-tenda warung. Kawasan tersebut seolah sudah menjadi sentra bagi para penjahit atau tukang permak jalanan.

Pelanggan saat ini, sudah dari berbagai kalangan, dari supir bajaj, tukang ojek, Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang tinggal di sekitar Jatinegara. Kebanyakan, para pelanggan datang untuk memotong atau mengecilkan celana atau memperbaiki baju.

Menurut Anjas Asmara, sebenarnya beberapa tukang permak juga mempunyai kemampuan menjahit baju, dari kain lembaran atau bahan menjadi baju jadi. Tetapi, mereka lebih memilih untuk melakukan permak atau perbaikan saja. Kata Anjas, itu masalah efisiensi waktu.

"Kalau jahit dari kain menjadi baju kan butuh waktu agak lama. Sementara, kalau cuma permak, paling lama satu jam sudah selesai. Jadi, soal waktu saja. Semakin cepat pekerjaan diselesaikan, semakin banyak uang yang didapatkan karena bisa menyelesaikan pekerjaan lain," katanya.

Tarif yang dikenakan saat ini, rata-rata Rp10.000. Harga bisa semakin mahal kalau tingkat kesulitan pengerjaan tinggi, misalnya saat membesarkan baju.

Para pelanggan punya alasan sendiri memilih untuk memperbaiki baju, celana atau gordennya di tukang permak jalanan itu. Irwan (45), warga Jalan Jelita Gang II, Rawamangun, Jakarta Timur, sore itu sengaja datang ke kawasan Jatinegara bersama istrinya untuk memperbaiki beberapa pakaiannya.

"Soal harga, sudah pasti di sini lebih murah dibandingkan di penjahit atau tukang permak yang mangkal di ruko atau tempat lain. Untuk permak jeans, misalnya, di sini hanya dikenakan Rp10.000, sementara di tukang permak yang mangkal bisa Rp15.000," kata Irwan.

Selain murah, para tukang permak jalanan dianggap teliti dalam menyelesaikan pekerjaan.  "Yang paling khas di sini, pengerjaaan yang cepat, bisa ditunggu, dan hasilnya pun memuaskan," kata Irwan.

Pelanggan lainnya, Evi Fauzia (26), mengaku sejak beberapa tahun lalu ia selalu memperbaiki baju, celana atau tas kepada penjahit yang mangkal di sana.

"Pertimbangan utama ya karena cepat, bisa ditunggu. Tinggal naruh, bilang mau diapakan, terus langsung dikerjakan. Kadang kurang dari satu jam sudah selesai. Beda saat kita jahit di tailor, cuma ngecilin baju aja suruh ngambilnya bisa dua sampai tiga hari," kata warga Jalan Swadaya III RT/RW 16/6, Kelurahan Rawa Bunga, Jatinegara ditemui saat memperbaiki gorden.

Selain itu, kata Evi, para tukang permak di sana juga fleksibel. "Maksudnya, kalau kita kurang puas, atau ada salah komunikasi soal mau diapakan baju atau celana, bisa langsung dikerjakan lagi tanpa ada uang tambahan. Yang pasti lebih enak di sini, ketimbang di tukang permak lepis (Levis_red) atau di tukang jahit. Apalagi biayanya di sini juga murah," jelasnya.

Lebaran berkah

Para tukang permak beroperasi mulai 09.00 hingga pukul sembilan malam. Mereka tidak muluk-muluk ketika ditanya soal penghasilan. Memang, belum ada cerita sukses bagi para tukang permak di sana.

Bekerja selama puluhan tahun, mayoritas masih tinggal mengontrak di kawasan Jatinegara.

Hanya Syafrizal saja, selaku orang pertama yang membuka jasa permak di sana, yang kini memiliki usaha warung makan khas Padang.

Bagi mereka, bisa menafkahi keluarga, membesarkan anak-anak, membayar kontrakan dan sedikit tabungan, sudah menjadi hal yang mereka syukuri.

Anjas, misalnya. Ia mengakui, bekerja menjual jasa di trotoar seperti yang ia lakukan tidak ada besaran pasti soal penghasilan. Begitu juga dengan para tukang permak lainnya.

"Yang penting buat saya, bisa nyukupi kebutuhan sehari-hari. Kemudian bisa bayar kontrakan. Setahun Rp4 juta. Sisanya buat nabung sedikit-sedikit," katanya.

Hal sama dialami kakak Anjas bernama Edi Bewok (49), yang sudah sejak 1986 menjadi penjual jasa permak di sana.

Berbeda dengan kaum urban lainnya yang sibuk mempersiapkan mudik saat lebaran, para penjaja jasa permak ini justru tengah disibukkan dengan pekerjaan. Jika di hari normal, penghasilan para tukang permak antara Rp50.000-Rp100.000, di moment lebaran penghasilan bisa bertambaah tiga kali lipat karena banyak pelanggan yang memperbaiki baju atau celana untuk berlebaran.

Bahkan, semakin dekat dengan hari raya Idul Fitri sampai malam Idul Fitri, kata Anjas, satu tukang permak bisa mengantongi uang Rp1 juta hanya dalam waktu sehari. Kenaikan tarif permak selama moment lebaran rata-rata Rp5 ribu.

"Sewaktu orang-orang sibuk mau mudik, moment lebaran justru kami manfaatkan untuk mengumpulkan uang. Kapan lagi bisa dapat kerjaan sebanyak itu dan hasil yang berlipat dari hari biasa. Modalnya cuma kita persiapin stamina dan jaga kesehatan saja," katanya.

Baru, seminggu atau dua minggu setelah lebaran, para tukang permak mudik ke kampung halamannya setelah mengumpulkan uang cukup.

"Mudik kan juga butuh biaya banyak. Ya uang hasil dari kerja keras sebelum lebaran, digunakan untuk ongkos mudik dengan keluarnya. Syukur-syukur masih ada sisa buat ditabung atau bayar kontrakan," kata Anjas.

Label:
4 Responses
  1. Unknown Says:

    jatinegaranya sebelah mana ya?


  2. Feryantohadi Says:

    Timur stasun mbak, tepat smpang tiga atau sebelum terowongan


  3. Unknown Says:

    makasih mas, rekomen tempatnya barusan saya kesana dn memang memuaskan hasilnya.


  4. Unknown Says:

    makasih mas, rekomen tempatnya barusan saya kesana dn memang memuaskan hasilnya.


Posting Komentar

terimakasih atas atensinya...

Powered By Blogger

  • Foto saya
    DKI Jakarta
    Wartawan di harian Warta Kota, Kompas Gramedia. Follow @FeryantoHadi

    Total Tayangan Halaman

    Pengikut Blog


    waktu jualah yang akan menghentikan pengembaraan singkat ini