TENTARA LANGIT: NOVEL MOTIVASI DAN CINTA





Judul: Tentara Langit
Penulis: Feryanto Hadi
Ukuran: 13x 20,5 cm; ...xiv+366 halaman.
tahun terbit:oktoberi 2010
Penerbit: Pyramedia
Harga: 43.500


Penggalan Bab 24: nasehat-nasehat merdu
Salah satu orang yang ku kenal Ramallah ini bernama Mahfuz Khuri. Dia adalah mahasiswa satu angkatan denganku. Hanya saja, ia mengambil kuliah di fakultas sastra. Dialah yang sering ku ajak pergi ke Birzeit bersamaku, berangkat kuliah bersama-sama.
Awal kedekatan kami yaitu pada saat kami berkenalan di perpustakaan kampus. Dari perkenalan itu, lantas kami banyak berbincang dan ternyata rumah Mahfuz tak jauh dari rumahnya Tuan Daswah.
Sudah sejak semalam aku tak sabar ingin berkunjung ke rumah Mahfuz. Dan ketika mendung pagi menjadi hidangan alam, aku memutuskan untuk segera pergi ke rumah Mahfuz dengan berjalan kaki. Kebetulan hari jum’at ini adalah hari libur, maka hari ini adalah hari dimana aku tidak punya kewajiban mengantar Aswaj ke sekolahnya maupun aku harus pergi ke kampus.
Mahfuz menyambut kedatanganku dengan senyumnya, lantas ia memintaku duduk di teras rumahnya.
Ketika aku sudah duduk, ia justru berpamitan untuk masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian ia sudah keluar dengan membawa dua cangkir kopi. Ia duduk kembali di tempatnya yang semula dan mempersilahkanku untuk menikmati kopi yang katanya dari Libanon itu.
“Sejak beberapa waktu lalu, wajah langit nampak sedang murung. Bergumpalnya awan hitam disana, adalah bentuk kesenduan yang menurutku adalah gambaran nyata sebuah kekecewaan.”
Aku tak segera faham dengan perkataan pembuka dari Mahfuz. Ada dua makna yang tersirat; apakah ia sedang membicarakan langit yang adalah diriku, ataukah ia memang sedang berupaya jujur melihat cuaca mendung yang sedang ada.
“Apakah kau sedang membicarakanku?” dengan segenap rasa antusias, aku memberikan pertanyaan itu kepadanya.
“Aku sedang membicarakan ‘Langit’.”
“Kau mengambil keuntungan karena namaku sama seperti apa yang sedang kau lihati sekarang. Kau berpura-pura mendongakkan kepalamu ke atas, membicarakan cuaca dan awan, padahal kau sedang berusaha menjelaskan apa yang terjadi denganku. Kau lelaki yang cerdik, Mahfuz.”
Mahfuz justru tertawa terbahak setelah kalimatnya berhasil ku tangkap dengan baik. Aku sendiri, masih mencoba menghayati deskripsi singkat yang di paparkan oleh Mahfuz, perihal kesenduan langit yang menurutnya adalah gambaran sebuah kekecewaan.
Memang, aku sudah menceritakan semua problem cintaku ini kepada Mahfuz. Beberapa hari lalu, di kantin kampus, aku banyak mencurahkan masalah serta hal yang membuat hatiku lesu. Setidaknya, aku ingin sedikit membagi kegalauan diri pada sosok yang sudah ku ketahui bahwa sosok itu memang tepat untuk ku jadikan sahabat terbaik. Terlalu berat jika harus ku tanggung beban ini sendirian.
“Orang yang menyimpan kecintaan yang mendalam kepada kekasihnya kemudian dia berpatah hati, biasanya tak begitu peka dengan sebuah ungkapan yang di gambarkan oleh sebuah simbol. Pikirannya masih di penuhi dengan imajinasi dan mimpi pengharapan. Tapi kau masih juga sensitif. Padahal, aku tak salah jika kalimatku tadi benar-benar ku tujukan kepada Langit yang sesungguhnya.”
“Simbol yang kau pakai kali ini sangat mudah ku tebak.”
“Dugaanku tadi, barangkali kau akan lebih sensitif jika simbol yang ku berikan adalah laut, gurun atau bahkan ku gunakan simbol safana untuk mendeskripsikan keadaan yang ku lihat darimu.“
Aku menjadi terbisu dan tak ada kalimat yang hendak ku sampaikan. Berbicara dengan Mahfuz, malah aku seperti sedang berbicara dengan seorang yang gila akan sastra. Ia memang sangat sering membicarakan suatu hal dengan simbol-simbol yang ia ciptakan. Bagi orang awam sepertiku, barangkali tak mudah untuk memahami ketika ia menjelaskan sesuatu dengan simbol yang rumit.
“Sampai sejauh ini, aku masih merasa sangat bersalah pada Imah.” gumamku ketika Mahfuz tengah asik memainkan ujung pena pada secarik kertas.
Mendengar perkataanku, ia menghentikan gerakan penanya lantas menatap dalam ke arahku. “Tapi kau akan lebih merasa bersalah ketika kau memilih untuk tinggal disini bersama Imah, sementara ibumu di Indonesia selalu di hinggapi kerinduan-kerinduan kepadamu.” Mahfuz menghentikan kalimatnya dan tangannya meraih gagang cangkir kopinya. Setelah menyeruput kopinya, ia kembali berkonsentrasi kepadaku. “Jika boleh ku sarankan, sebaiknya kau jangan selalu menganggap bahwa semua ini adalah sebuah kegagalan besar. Sejujurnya, apa yang kau alami ini tidak seberapa besarnya bila di bandingkan dengan derita anak domba ketika orangtuanya dibunuh lalu di kuliti.”
“Harusnya aku bisa menjadi lelaki cerdik, yang bisa mencari solusi atas masalah ini. Tapi apa yang terjadi, melapangkan hati saja aku masih tak mampu.” Aku menyalahkan diri sendiri.
”Memasak hati agar menjadi matang adalah kesukaran bagi pejalan rindu yang terkadang hilang ingatan. Kau menjadi larut dalam dukacita mendalam, itu karena kau masih tak mampu menalari dengan baik berbagai macam kekuatan hatimu.”
”Aku hanya ingin jujur terhadap diriku sendiri. Sebenarnya aku ingin sekali bisa lepas dari jerat nestapa seperti ini. Tapi apa yang bisa ku lakukan jika hati ini terus berkehendak untuk mengingatnya, lantas aku kembali terdesak oleh penyesalan-penyesalan tentang sebua lara?”
”Tak harus kau ikuti kehendak hati itu.”
”Itu hal yang mustahil ku lakukan. Barangkali aku akan selalu sedih seperti ini dalam waktu yang lama. Biarlah... biar waktu yang menuntunku. Untuk waktu sekarang ini aku masih ingin menikmati duka cinta ini.”
“Jangan kau mempercantik ketampananmu itu, sobat! Jangan selalu kau berkata 'pipi hatiku seperti tertampar dan menjadi merona sendu.' Jika kau terlalu mendeskripsikan keadaan hatimu dengan kalimat-kalimat tak wajar dan terlalu meratap, justru aku melihatmu sebagai seorang Pangeran yang begitu anggun dan gemulai.”
Sebenarnya ingin sekali aku marah, ketika Mahfuz menyebutku sebagai seorang pangeran anggun. Namun, setelah ku hikmati diriku lebih jauh, barangkali apa yang ia katakan itu ada benarnya. Selama ini, setelah Imah sudah jauh dari tatapan, aku masih gemar mengeluh dan meratap. Terkadang waktu, pikiranku juga menjadi liar dan meletakkan cinta sebagai berhalanya hati. Sungguh, etika kecintaan itu seakan tak bernyawa lagi. Cintaku kepada makhluk telah menjadi doktrin yang menuntut jiwaku rebah dalam kegilaan-kegilaan. Entahlah.. barangkali aku akan mati seperti matinya rumput yang dahaga.
“Mungkin syair ini tepat jika ku berikan untukmu.” ucap Mahfuz sembari meneyerahkan secarik kertas yang barusaja ia jadikan ajang pelampiasan imajinasi, dengan menuliskan beberapa syair dan katanya syair itu adalah untukku.
Kertas itu sudah berada di tanganku, namun aku belum membacanya.
Melihatku yang hanya diam, Mahfuz berkata kepadaku, “Bacalah! Barangkali kau mempunyai apresiasi yang baik terhadap sebuah karya sastra.“
Aku mulai membaca bait pertama puisi;

Jika udara cinta menampar pipi hati
Lihatlah purnama sedang menghiburmu
Menyuburkan dedaunan yang selalu tumbuh dalam dirimu
Lantas kau tetap subur

Aku berhenti membaca bait pertama. Aku berbisik dalam hati seperti ini, “Apa maksud Mahfuz membubuhkan dedaunan pada diriku. Di sisi mana dedaunan itu tumbuh pada diriku?”
Setelah melirik ke arah Mahfuz sebentar, aku melanjutkan membaca bait kedua,

Ketika pagi datang,
Jangan kau tangiskan tatapan ketika mentari berbungah
Atau kau menghardik bisu pada fajar
Karena arahmu di depan jika kau menatap
Dan malam tak selalu menjadi dewa penolong untukmu

Aku semakin tidak mengerti. Tadi ia menyuruhku untuk melihat senyum purnama. Tapi kenapa sekarang ia justru bilang kalau malam bukanlah waktu yang selalu bisa menolongku.Dari syair itu, yang paling mudah ku fahami hanya baris ke empatnya saja. Karena arahmu ke depan jika kau menatap. Yah, inilah yang secara langsung dan mudah bisa merasuk pada kepahamanku.
Kini saatnya aku sampi pada bait terakhir,

Kau dan rumput mati,
berdiskusi kosong dalam kering tak berair
tersudut perih oleh ketetapan
dan kalian sama-sama menghanyut diri dalam samar atau pekat

Entahlah. Aku tidak lantas mengerti dengan maksud puisi ini. Sejujurnya, kedatanganku ke rumah Mahfuz adalah untuk mencari ketenangan. Tapi justru ia membuatku semakin tersudut perih oleh ketetapan. Ya. Itulah yang semakin ku rasakan ketika Mahfuz menjadikan rumput mati sebagai pendampingku lalu kami sama-sama menjadi pekat.
”Mahfuz, kali ini kau mendeskripsikanku secara berlebihan.” ucapku kecewa kenapa ia tak memberikan syair-syair yang bernuansa motivasi.
”Aku hanya sebuah angin yang sedang mencoba memperhatikanmu. Aku.....”
”Sudahlah! Jangan kau teruskan syairmu itu. Bicaralah dengan bahasa yang mudah ku pahami..”
Mahfuz kembali tertawa, walau kalimatnya ku hentikan dan aku berbicara sedikit ketus kepadanya.
”Maaf, jangan marah, Langit. Sungguh, aku tak bremaksud untuk mempercandaimu. Aku, sebagai sahabatmu, hanya ingin mengajakmu merenung, memikirkan dan mendalami hakikat semua ini. Sejatinya lebih banyak masalah yang harusnya lebih kau pikirkan. Apalagi di waktu sekarang ini kau harus segera menyelesaikan tugas akhirmu. Sebaiknya kau berusaha berkonsentrasi pada hal yang penting untuk masa depanmu.“
”Kau tak merasakan apa yang ku rasakan, Mahfuz. Dengan mudah kau bilang ini dan itu, padahal setiap hati manusia adalah berbeda. Ada seseorang yang mungkin bisa dengan mudah mengabaikan masalah seperti ini. Namun, bagi diriku, sangat sulit untuk begitu saja melupakan semua ini. Bukan berarti aku tak mau berusaha untuk ber-ikhlas, tapi apa harus ku tanggung sebuah dosa, jika kesedihan ini ada?“
”Bukannya aku tidak merasakan, Lang. Aku tahu, bagaimana sensitifnya sebuah hati ketika ada sesuatu yang menggeseknya, walau perlahan atau hanya sekedar sentuhan ringan. Apalagi yang menggesek itu adalah sebuah ruh yang bernama cinta. Aku faham, Lang. Aku sangat mengerti bahwa kehilangan adalah sesuatu yang sulit di hadapi.”
”Lantas?”
”Aku sudah mendengar bagaimana kisah hidupmu; sejak kecil hingga sekarang. Dan sebelumnya aku ingin berterimakasih karena kau sudah terlalu percaya denganku, sehingga kau sudi untuk membagi cerita kehidupanmu padaku. Disini, aku hanya ingin berperan sebagai sahabat yang mencoba perduli. Aku tak ingin membiarkan jiwamu menjadi kaku lantas kau menunda masa depanmu hanya karena hal seperti ini. Aku ingin kau berkonsentrasi dengan tugas akhirmu, lulus kuliah tepat waktu, sehingga kau bisa membahagiakan ibumu yang sudah pasti beliau sangat merindukanmu.”
Aku masih mencoba menghikmati nasehat dari Mahfuz yang menurutku cukup gemilang itu. Apa yang di katakan oleh Mahfuz memang benar. Tidak seharusnya diriku terlalu meratapi atau mematikan jiwaku sendiri ketika sebuah ketepan mendatangiku.
Sebuah pikiran mencerahkan tiba-tiba hinggap di kepalaku; bahwa sebenarnyaaku tidak harus menyesali keputusan yang telah ku tetapkan sendiri. Terpisah dengan kekasih memang sebuah hal yang cukup menyedihkan, namun aku tak boleh terlalu lama tercekat oleh kesedihan itu. Toh, kehidupan ini masih terus berjalan dan skenario hidupku belumlah usai.
Mahfuz-lah yang kemudian ku anggap sebagai fihak yang turut membantu dalam hadirnya kesadaran hatiku. Jika masih boleh jujur, aku memang masih sangat mencintai Imah. Tapi benar kata Mahfuz tadi; keikhlasan adalah solusi terbaik untuk mengantisipasi terbunuhnya jiwaku. Kita harus percaya bahwa rencana Allah adalah sesuatu yang terbaik buat makhluk-Nya, walau akdang manusia tak bisa menerima hal itu sebagai sesuatu yang terbaik baginya. Aku harus mampu untuk mendewasakan hati serta menguatkan sendi-sendi kesabaran dalam diri.
Ketika aku sedang termenung, membentangkan fikiranku dalam cakrawala pemahaman, Mahfuz memukul lenganku.
”Sebaiknya kita habiskan waktu untuk berjalan-jalan di seputaran Ramallah. Aku ingin mengajakmu mengunjungi beberapa kawanku.” kata Mahfuz yang setidaknya membuatku berkonsentrasi kepadanya. ”Apakah kau bersedia?” tanyanya kemudian.
Beberapa anggukan kepalaku rasanya sudah cukup menjadi jawaban atas ajakannya itu. Mahfuz tersenyum kepadaku, aku pun membalas senyumnya itu.

*Membaca Palestina dalam Jihad, kepahlawanan, perlawanan terhadap Zionis, selalu mematik heroisme. tapi bagaimana jika bumi Palestina di lukis sebagai setting CINTA??
TENTARA LANGIT memberi pilihan yang berbeda!
*TASARO: Penulis Novel Muhammad (Lelaki Penggenggam Hujan)

*Menulis merupakan hal yang sudah menyatu dalam diri feryanto hadi. Kepekaannya dalam menggunakan bahasa membuat karyanya menjadi karya yang penuh makna. dengan menggunakan bahasa yang mudah di pahami, feryanto hadi bisa cukup menyentuh hati kita perihal makna cinta, kehidupan. Selamat membaca!
--ULAYA AHDIANI, SS. M.Hum: Akademisi dan Pengamat Sastra

*Membaca "Tentara Langit", Adalah membaca catatan dengan sejumput dialektika sosialnya yang kompleks. dari derita, idealisme, cita-cita, cinta manusia, cinta Ilahi, menjadi bunga-bunga berduri. semuanya bergelayut dalam catatan harian seorang pencatat tangguh bernama Feryantoi Hadi.
--BUSTAN BASIR MARAS: Sastrawan dan Networker Kebudayaan

Label:
0 Responses

Posting Komentar

terimakasih atas atensinya...

Powered By Blogger

  • Foto saya
    DKI Jakarta
    Wartawan di harian Warta Kota, Kompas Gramedia. Follow @FeryantoHadi

    Total Tayangan Halaman

    Pengikut Blog


    waktu jualah yang akan menghentikan pengembaraan singkat ini