Seperti Angin Yang sedang Mengigau

Ada seorang sosok yang sering menyebut diriku sebagai puzle yang tercerai kalut, bisanya membaca hidup dari sesuatu yang janggal, jika sedang memandang tergambar seperti seekor ular jantan yang sedang puber berkali-kali. Aku, di hadapannya, dianggap sebagai angin yang sedang mengigau, terbang dihina sekawanan emprit, lantas angin itu akan menggumul menjadi lingkaran tak berporos. Sebegitukah aku?
Aku mencermati waktu yang hidup dan aku memahami bunyi darimu; pada saat kau berbicara bibirmu terkatup-katup, seperti pintu kerajaan yang memuntahkan para tentara perangnya. Itu kenapa sejak malam-malam yang lalu aku telah menyulam kilatan-kilatan asmara, membubuhi dengan corak pelangi kemudian aku mencoba merupanya menjadi gumpalan rindu, walau menurutmu itu adalah ambigu. Kamu percaya?
Tentu saja kamu akan berusaha membantahnya. Sebab selama ini kamu selalu merasa bahwa warna pelangi adalah sahabatmu, bintang yang tersebar adalah sajakmu, sedangkan aku adalah lelaki malang yang dibenci rembulan, aku adalah lelaki yang sepantasnya hidup pada ruang hampa cinta.  Bukan begitu menurutmu?
Namun sudikah kamu melihat sebentar sesuatu di mataku ini, di mana aku telah menaruh harapan besar dalam setiap aliran cahayanya; seperti matahari yang berharap untuk mempercantik pagi, dalam rintik air yang jatuh dalam kubangan misteri, dan sepatutnya kamu merasai bait-bait yang teralir melalui tatapan rinduku kepadamu. 
Sebagaimana arus sungai yang  beriak dan bernada, melaju bagai gerak penari latar, seperti itu pula cintaku yang hanya mengenal satu aliran, dan tempat berlabuhnya adalah muara yang bernama dirimu. Ini karena aku selalu percaya kepada sampanku, barangkali. Atau ada kekuatan lain yang sedang membantu hatiku agar tertarik menuju dirimu.

Gunung tetap membiru, ombak masih gemar berisik, malam hangat dalam dekapan rembulan, dan aku masih setia menanti kembalinya dirimu ke hati ini.




Telah sekian lama aku membuntuti kemananapun bayanganmu pergi, seperti aliran sungai yang tertatih menuju muara. Sekian lama juga aku mengejar nafasmu dengan perasaan gontai, berupaya agar kamu sudi untuk memberikan kesanggupan terhadap permintaanku untuk menjadi daun yang bisa membungkus hari-harimu, menghangatkan kecantikanmu. Itu semua aku lakukan karena aku melihat ada keindahan masa depan jika hatimu dan hatiku berada dalam satu pembaringan atau hati kita berjalan bersama dalam satu kurungan rasa.
Aku rasa aku sudah terlalu Ge-er dan kamu tetap menjadi wanita galak yang kucintai.
Tapi benar bahwa kini kamu menjadi yang terdalam. Dan kemarilah wahai burung merpati yang gemar kupercandai di sepanjang hari. Jangan terus kamu kepakkan sayap, menjelajah dunia berteman rayuan pelangi yang kadang menjebakmu; aku kadang sering prihatin melihatku terbang sesuka arah. Berbaringlah di hatiku sebentar dan lihatlah warna-warna indah pada dindingnya, ejalah pelan-pelan segenap untaian asmara yang aku tulis untuk merayumu.
Sungguh, aku merasa tidak adil jika kau memberi janji dengan menggenggam jati diriku terlalu lama. Dan kamu selalu menyampaikan pesan rahasia lewat aliran-aliran bawah sadar yang hanya bisa  kutemui pada waktu gelap hari; pada saat aku sedang gemar-gemarnya menghitung kerdipan kunang kemudian aku melaporkan jumlah perhitungan itu sebagai catatan janggal yang kulakukan per malam.
Atau sebentar saja coba kamu dengarlah. Dengarkan rindu yang kutitipkan pada manjanya angin malam ini. Dekatkan rindu itu pada cuping hatimu. Dengarkan baik-baik apa yang akan ia katakan. Tentang kesetiaan, penantian dan kehidupan cinta yang akan selalu ada untukmu. Aku  masih di sini, setia menantimu sampai kapanpun.
Aku tidak akan pernah letih berkata kepadamu; mari lihat bersama perjalanan ini, menapak dan meninggalkan bergaris-garis jejak. Mari dengar bersama suara-suara dawai hati, mengalun seperti suara mimpi di taman safana, seperti siulan burung nuri yang baru saja memenangkan kontes adu bakat. Itu aku rasakan ketika aku sedang mencoba melukis cinta kita, mengumpulkan beribu angan dan cita, serta saat urat-urat di pipimu terbaca oleh mataku sebagai sebuah sajak yang melenakan.

2 Responses
  1. cici Says:

    hoaa... ular jantan yang puber berkali-kali :-p
    heran aku. Mas fer selalu nemu kata2 yang ga pasaran... two tumb dah...


  2. Feryantohadi Says:

    hueee. makasih sudah mampir Cici :-)


Posting Komentar

terimakasih atas atensinya...

Powered By Blogger

  • Foto saya
    DKI Jakarta
    Wartawan di harian Warta Kota, Kompas Gramedia. Follow @FeryantoHadi

    Total Tayangan Halaman

    Pengikut Blog


    waktu jualah yang akan menghentikan pengembaraan singkat ini